Pemerintah Indonesia dinilai gagal dalam memperkuat daya saing industri nasional untuk meredam serbuan produk impor asal China. Tingginya biaya produksi (cost production) di Indonesia membuat produk nasional tidak mampu bersaing dengan produk China yang harganya murah. ASEAN-China Free Trade Agreement (AC-FTA) ditanda tangani sejak 4 November 2002 di Phnom Penh, Kamboja, dimulai dari liberalisasi di sektor barang pada tahun 2004 dan jasa pada tahun 2007. Dalam kurun wakti itu, sekitar 5000 pos tarif bea masuk telah diturunkan hingga nol persen. Sejak Januari 2010, sebagai pemberlakuan implementasi kesepakatan tersebut diatas, sudah ribuan pos tarif kembali dinolkan. Itu tersebar untuk sejumlah produk barang dan jasa di 10 negara ASEAN plus China. Semestinya, pemerintah maupun pengusaha sudah menyiapkan langkah antisipasi. Kini, berpuluh-puluh kapal pengangkut produk impor asal China telah mengalir masuk Indonesia. Kapal China yang bersandar di pelabuhan Tanjung Priok meningkat sejak awal tahun ini. Bahkan sudah ada perusahaan pelayaran yang masuk dengan menggunakan kapal berukuran besar. Ini menunjukan volume barang yang diangkut ke Indonesia semakin meningkat.
Sejak implementasi AC-FTA ditandatangani tahun 2002, seharusnya cukup waktu bagi pemerintah untuk meningkatkan daya saing. Namun tampaknya tidak ada persiapan serius untuk menghadapi implementasi AC-FTA. Wajar jika pelaku industri terkejut dan merasa tidak siap mengikuti pemberlakuan AC-FTA. Sesuai perjanjian, AC-FTA diberlakukan untuk ribuan barang. Skema pertama adalah early harvest programme (EHP). Yaitu, penurunan atau penghapusan bea masuk seperti produk pertanian, kelautan, perikanan, makanan dan minuman yang dilakukan bertahap sejak 1 Januari 2004 hingga nol persen pada Januari 2006.
Skema kedua adalah normal track 1 (NT1), penurunan bea masuk secara gradual yang dimulai sejak 20 Juli 2005 dan diharapkan seluruhnya menjadi nol persen pada 2010. Sementara untuk normal track 2 (NT2), diterapkan bea masuk nol persen 2012.
Lalu, skema ketiga adalah sensitive track (ST), yakni tarif bea masuk akan diturunkan/dihapuskan menjadi 0-20 persen pada 2012 sampai 2017 dan menjadi 0-5 persen mulai 2018. Kemudian, highly sensitive list (HSL), yakni tarif bea masuk akan diturunkan atau dihapus menjadi 0-5 persen mulai 2015.
Sampai sekarang masih terjadi perdebatan di antara para pelaku industri. Setelah kewalahan bersaing dengan China, pemerintah mulai mengatur siasat. Salah satunya memfasilitasi perusahaan China untuk berinvestasi di Indonesia. Produsen China dapat membuka pabrik di Indonesia dan memproduksi barang sesuai spesialisasinya, tapi ber-partner dengan pengusaha lokal. Untuk saat ini, masih terjadi polemik dari para pengusaha lokal, dan mengajukan kepada pemerintah untuk diajukan penangguhan sehubungan dengan kerjasama AC-FTA ini, diantaranya :
1. Tekstil & produk tekstil, 2. Makanan & Minuman, 3. Petrokimia, 4. Alat-alat & mesin hasil pertanian, 5. Alas kaki, 6. Sintetik fiber, 7. Elektronika, 8. Kabel & peralatan lsitrik, 9. Industri permesinan, 10. Besi & baja, 11. Industri komponen & manufaktur otomotif, 12. Kosmetik & jamu, 13. Mebel & furnitur, 14. Ban, 15. Jasa konstruksi.
Dengan adanya kesepakatan AC-FTA ini, pelaku bisnis lain seperti retail juga dapat memanfaatkan kesempatan tersebut. Diantaranya banyak pilihan produk yang murah dari berbagai macam produk China yang membanjiri Indonesia, walaupun dari segi kualitas masih harus dipertanyakan, namun karena banyak pilihan dapat juga menguntungkan end user dalam hal ini customer. Mau tidak mau, siap tidak siap, suka tidak suka Indonesia harus menghadapi kesepakatan tersebut.
(diambil dari berbagai sumber)
Skema kedua adalah normal track 1 (NT1), penurunan bea masuk secara gradual yang dimulai sejak 20 Juli 2005 dan diharapkan seluruhnya menjadi nol persen pada 2010. Sementara untuk normal track 2 (NT2), diterapkan bea masuk nol persen 2012.
Lalu, skema ketiga adalah sensitive track (ST), yakni tarif bea masuk akan diturunkan/dihapuskan menjadi 0-20 persen pada 2012 sampai 2017 dan menjadi 0-5 persen mulai 2018. Kemudian, highly sensitive list (HSL), yakni tarif bea masuk akan diturunkan atau dihapus menjadi 0-5 persen mulai 2015.
Sampai sekarang masih terjadi perdebatan di antara para pelaku industri. Setelah kewalahan bersaing dengan China, pemerintah mulai mengatur siasat. Salah satunya memfasilitasi perusahaan China untuk berinvestasi di Indonesia. Produsen China dapat membuka pabrik di Indonesia dan memproduksi barang sesuai spesialisasinya, tapi ber-partner dengan pengusaha lokal. Untuk saat ini, masih terjadi polemik dari para pengusaha lokal, dan mengajukan kepada pemerintah untuk diajukan penangguhan sehubungan dengan kerjasama AC-FTA ini, diantaranya :
1. Tekstil & produk tekstil, 2. Makanan & Minuman, 3. Petrokimia, 4. Alat-alat & mesin hasil pertanian, 5. Alas kaki, 6. Sintetik fiber, 7. Elektronika, 8. Kabel & peralatan lsitrik, 9. Industri permesinan, 10. Besi & baja, 11. Industri komponen & manufaktur otomotif, 12. Kosmetik & jamu, 13. Mebel & furnitur, 14. Ban, 15. Jasa konstruksi.
Dengan adanya kesepakatan AC-FTA ini, pelaku bisnis lain seperti retail juga dapat memanfaatkan kesempatan tersebut. Diantaranya banyak pilihan produk yang murah dari berbagai macam produk China yang membanjiri Indonesia, walaupun dari segi kualitas masih harus dipertanyakan, namun karena banyak pilihan dapat juga menguntungkan end user dalam hal ini customer. Mau tidak mau, siap tidak siap, suka tidak suka Indonesia harus menghadapi kesepakatan tersebut.
(diambil dari berbagai sumber)
No comments:
Post a Comment